The Real Deal(s)
((saya tidak tahu
harus memulainya dari mana. dan, sejujurnya, saya sudah menulis yang serupa
dengan ini di media lain. tapi, yah, saya merasa bisa menulis lebih panjang di
sini. jadi, mari kita bagi menjadi dua bagian))
Silet
Sebut saja saya
memiliki seorang teman sekamar yang hobi bermain dengan silet. Saya menyebutnya
demikian karena… dia memang membawa banyak sekali silet. Yah, silet cukur yang
dibungkus kertas itu. Kira-kira, dia bawa sebungkus silet.
Saya yakin kalian
tahu apa yang dilakukannya dengan silet-silet itu.
Bagi saya, yang
hanya mengetahui self-harm dari
artikel-artikel internet dan novel-novel, kebiasaan buruk satu ini tidak
benar-benar nyata. Mungkin memang benar ada dan terjadi pada sebagian orang,
tapi bukan seseorang yang satu kamar dengan saya selama tiga minggu saat KKN. Soalnya,
orang-oarang yang memiliki kebiasaan ini biasanya digambarkan sebagai orang
super murung-pendiam-cupu-aneh blablabla sedangkan teman saya ini sungguh biasa
saja. Oke, dia memang pendiam. Tapi kadar pendiamnya sama dengan saya. Dan,
perlu diketahui bila kadar pendiam kami masih ditahap normal, di mana kami masih
bisa tertawa, melontarkan candaan garing, masih bisa mengutarakan kritik dan
saran saat rapat, dll.
Jadi, waktu saya
dan teman-teman sekamar tahu dia memiliki kebiasaan itu, saya syok, bingung, heran,
dan merasa tidak enak sendiri. Rasanya seperti ingin melakukan sesuatu tapi
tidak tahu apa itu dan takut pula bila apa yang akan saya lakukan malah akan
memperburuk keadaan.
Sejujurnya, saat
saya tahu kebiasaannya itu, bacaan-bacaan mengenai self-harm segera memenuhi kepala saya. Dan, itu menyadarkan saya
kalau bacaan-bacaan tersebut lebih sering ditulis dari sisi orang yang
mengalaminya. Lalu bagaimana dengan kerabat orang yang memiliki kebiasaan
tersebut? Sedikit sekali yang membahasnya. Saya jadi bingung (dan panik, kalau
boleh jujur) dibuatnya. Dia memang hanya 1 dari 15 orang di kelompok KKN saya.
Tapi melihat bagaimana dia masih bisa tertawa dan bagaimana dia menangis waktu
itu membuat saya merasa tidak enak sendiri.
Catatan: maaf, saya dulu pernah mengambil beberapa siletnya
dan membakarnya di hari bakar sampah. saya juga pernah menyelipkan selembar kertas
struk makanan di bantalnya bertuliskan sesuatu dan tidak mengakuinya.
![]() |
Bakar sampah pertama yang saya ikuti. |
Takut
Mari beranjak ke
cerita lain. Cerita yang mungkin terdengar lebay bagi orang lain, tapi sukses
bikin saya dan seorang teman saya gemetar saking takutnya.
Singkat cerita, kami
terjebak di balai desa dengan para pemuda tidak jelas. Sebenarnya bisa saja
kami tidak terjebak di sana kalau saya tidak memaksa untuk tetap masuk ke balai
desa malam itu. Saya memang bodoh, berpikiran kalau mereka tidak bakal sampai
masuk ke balai desa dan berpikiran kalau saya seberani itu. Padahal, saya sudah
gemetaran saat itu.
Ketika mereka
sudah mulai masuk ke pelataran teman saya mulai panik, yang kemudian menular ke
saya. Tentunya, saya tidak bisa menunjukkan kepanikan saya pada teman saya itu.
Akhirnya, sambil gemetaran dan meminta supaya teman saya tenang, saya mengirim
pesan singkat ke grup KKN bertubi-tubi, minta dijemput. Untungnya, tidak perlu
menunggu lama, dua orang teman laki-laki kami datang dan kami pun berhasil
pulang.
Pesan singkat tadi
otomatis dibaca oleh banyak orang. Celetukan, “Halah, paling diapain, sih?” dari
seorang anggota kelompok kami berusaha saya abaikan, sampai akhirnya teman yang
terjebak dengan saya tadi nyeletuk, “Ya tapi kan beda!”, lalu langsung masuk
kamar.
Waktu saya tengok,
matanya sudah berkaca-kaca dan merah.
Saya merasa
bersalah. Sedikit-banyak ini salah saya karena memaksa untuk tetap ke balai
desa walau tahu di depan ada orang-orang tidak jelas itu. Saya pun minta maaf
(sambil nangis geje), dan dia pun berkata, “Anak-anak lho nggak ngerti. Tadi itu
aku takut beneran. Ya, emang kita nggak diapa-apain; mereka cuma nge-gas motor nggak
jelas. Tapi mereka ada banyak dan kita cuma berdua.”
Ketakutan kami
berdua sepertinya muncul karena takut diapa-apakan. Oke, yang barusan memang
terdengar lebay. Tapi memang itu yang saya (dan teman saya, mungkin) pikirkan.
Dari awal orang-orang nggak jelas itu sudah menggoda menyebalkan. Wajar saja
kami takut.
Dan, memang tidak
semua orang bisa mengerti ketakutan kami.
Komentar
Posting Komentar