Per-maho-an

"You like that kid, don't you?"

"Shut up."

"It's weird! It's unnatural."

"So what?"

"You're probably gonna get hurt."

"'Guess so."

"..."


  Yayoi to Ritsuka, Given chapter 29


(konten sedikit sensitif. di mohon undur diri kalau mau menghujat saya)

Saya punya teman seorang fujoshi, alias orang yang suka perhomoan di anime atau manga. Meski bisa dibilang seorang fujoshi, saya nggak yakin sejak kapan dia menjadi seorang fujo. Pokoknya, dari dialah kesukaan saya terhadap anime-manga-jejepangan yang tertanam sejak SD menjadi makin subur. Sebagai tambahan informasi yang nggak penting: kami berkenalan pas zaman SMP.

Di zaman SMP, sebagai seorang bocah  yang sedang dalam transisi menuju remaja, saya berusaha untuk berada di jalan yang lurus. “Di jalan yang lurus” ini salah satunya adalah dengan tidak mengagumi(?) atau pun menyukai(?) perhomoan seperti yang teman saya sukai itu. Bagi saya waktu itu, sudah cukuplah saya menonton beberapa fans service di anime yang saya tonton berupa ciuman atau tokoh dengan pakaian minim. Jangan sampai mata (dan otak) saya “dinodai” oleh yang tidak-tidak. Maka, saya pun menganggap kalau apa yang disukai oleh teman saya adalah sesuatu yang buruk.

Saya terus berpikir begitu sampai bertahun-tahun: menganggap hal-hal yang berbau LGBT adalah hal buruk dan tercela (meski saya nggak sebenci itu juga) dan selalu mengucapkan doa “Semoga kamu sembuh dari penyakit fujo-mu” ke teman saya tiap dia ulang tahun. Tapi makin ke belakang, entah pengaruh dari mana, saya merasa LGBT adalah hal umum yang terjadi di masyarakat walau dalam hati saya masih bertanya-tanya mengapa mereka begitu.

Lalu, saat Oscar (mungkin) 2 atau 3 tahun lalu, film yang saya jagokan kalah dari film bertemakan perhomoan. Di situ saya pun bertanya-tanya dalam waktu yang lama apa bagusnya film itu sampai bisa menang piala Oscar. Dari pertanyaan yang terus mengendap sampai berbulan-bulan itu, bertemulah saya dengan film Call Me by Your Name yang nggak ada hubungannya dengan Oscar di tahun itu, tapi pernah masuk nominasi Oscar entah di tahun kapan.

Judulnya terdengar manis banget (LOL). Makanya walau saya nggak langsung menontonnya di detik itu juga, Call Me by Your Name terkadang melintas di otak saya pas saya iseng-iseng nonton video atau apa. Mungkin karena faktor gabut, akhirnya saya pun nonton film tersebut dan sukses nggak bisa move on sampai sekitar sebulanan.

Siyalan, saya pengin teriak saja pas nonton adegan terakhirnya. Cerita romansa yang berakhir ditinggal bertunangan atau nikah memang banyak, tapi di Call Me by Your Name akhir yang seperti itu bikin ngenes. Dan saya pun sadar betul apa yang bikin akhir dari film itu terasa ngenes: karena romatisme yang terbentuk dari film itu adalah dari dua orang cowok!

Man, seriusan, itu kedua kalinya saya merasa ngenes setelah nonton cerita romansa. Kalau cerita romansa paling ngenes yang pertama adalah Lily Evans – Severus Snape, maka yang kedua adalah Ellio – Oliver. Siyalan, saya nggak tahu kalau cerita humu bisa sengenes itu!

Dari film itu saya jadi memikirkan hal lain lagi: gimana orang-orang LGBT menjalani kisah romantismenya? Di negara luar LGBT mungkin sudah biasa. Coba kalau saya bilang saya lesbi atau biseksual, saya nggak yakin orang tua saya bakal bisa ngomong dengan tenang kayak orang tuanya Ellio (maap, ma, pak).

Pertanyaan mengenai bagaimana LGBT bisa ada dalam seseorang juga menjadi semakin kuat. Orang-orang banyak yang bilang kalau LGBT itu terbentuk dari trauma masa lalu dsb. Di anime Given pun hubungan Mafuyu – Yuki juga terbentuk dari kedekatan mereka yang saling melengkapi gegara ditinggal bapak masing-masing. Tapi berhubung di Call Me by Your Name terbentuknya rasa saling suka antara kedua cowok nggak diceritakan, saya pun kembali di mana segala sesuatu berasal: Tuhan.

Yah, cinta nggak pandang bulu dan tiba-tiba. Datangnya mungkin dari kita dan entah bagaimana terbentuknya. Tapi tetap saja semuanya datang dari Tuhan. Sayangnya, saya ingin jawaban ilmiah (karena harus saya akui, alasan yang membawa-bawa Tuhan terkadang kurang bisa saya terima) Akhirnya, saya pun nekat bertanya di komen YouTube: kenapa hubungan sesame jenis dilarang? Jawaban yang paling memuaskan sejauh ini adalah: karena dari hubungan sesama jenis manusia nggak bisa membuat keturuan dan itu akan menyebabkan punahnya ras kita. Tentunya, jawaban tersebut sudah saya sarikan supaya terdengar lebih halus.

Itu jawaban yang masuk akal dan bisa saya terima. Tapi tetap saja saya masih bertanya-tanya: kenapa?

Sejujurnya, saya kurang puas. Tapi hei, sisi baiknya adalah saya jadi lebih terbuka terhadap LGBT (walau saya nggak pernah benar-benar membencinya sampai segitunya). Saya yang dulunya anti perhomoan dkk sekarang jadi biasa saja. Maksud saya, yah, bisa saja teman saya sendiri LGBT. Lalu, apa yang bisa saya lakukan? Ya tentu saja menerima mereka walau saya nggak ngerti kenapa mereka begitu. Paling tidak, saya nggak mau bikin seseorang merasa bersalah terhadap rasa cinta yang dimilikinya…


Komentar

Postingan Populer