Seperti Itu-nya Mereka


Semester 5 kemarin (yang sudah berakhir sejak sebelum Natal) benar-benar memberikan saya banyak pelajaran selain pelajaran ekonomi dan pendidikan. Beberapa di antaranya tentang kerja sama dan penyesalan.

Semester 5 adalah tahun ketiga kuliah saya, dan berhubung kampus saya menerapkan sistem “paketan” dalam pengambilan pengambilan mata kuliah, saya dan teman-teman saya sudah terjebak satu sama lain selama itu (dan, setidaknya, sampai lulus nanti). Tentunya, dalam perjalanan tersebut ada beberapa dari mereka yang pergi lalu kembali, ada pula yang pergi lalu tak pernah kembali. Kami juga sudah banyak membuat cerita, meski saya kebanyakan hanya menjadi penikmat cerita mereka, meski cerita yang mereka buat tercepah-pecah, meski cerita yang mereka buat tak sampai pada saya atau bahkan mereka simpan sendiri atau untuk mereka bagi pada orang-orang tertentu, meski cerita yang saya buat mungkin tak berarti apa pun bagi mereka, meski cerita yang saya buat memang tidak saya ceritakan pada mereka.

Itulah: di bagian akhir itu. Setiap orang di kelas saya pasti membuat cerita, tapi memilih untuk tidak membaginya karena berbagai macam hal. Cerita yang saya buat dengan beberapa dari mereka sengaja tidak saya bagikan ke seluruh teman saya karena alasan sungkan (tapi, yah, ketika saya memutuskan untuk menulis ini, artinya saya siap membagikan cerita saya dengan banyak orang).

Tiga tahun ini, saya menyadari bila mereka (dan saya, mungkin) telah berubah; mereka dan saya tampaknya sudah melepas topeng masing-masing. Baik-baiknya dan brengsek-brengseknya mereka dan saya mulai terlihat. Ini tidak berarti di semester yang lalu-lalu mereka dan saya 100% bersembunyi di balik topeng, hanya saja tekanan (yang saya terima) di semester ini memaksa mereka dan saya membuka 75% bagian topeng masing-masing.

Saya belajar banyak hal. Bila orang yang awalnya saya takuti ternyata seperti itu. Bila orang yang saya segani ternyata seperti itu. Bila orang yang saya sukai ternyata seperti itu. Bila orang yang benci ternyata seperti itu.

“Seperti itu” yang saya maksud kebanyakan membuat saya (sangat) kecewa terhadap mereka, tapi ada beberapa yang malah membuka pikiran saya tentang mereka. Dari seperti itu-nya mereka, saya mengerti satu hal: saya tidak bisa berharap pada siapa pun. (Pada hakikatnya, manusia memang tidak sepantasnya berharap pada manusia lain karena berharap bisa membuat kecewa. Dan, lihatlah saya: saya menjadi kecewa karena telah berharap pada manusia.)

Sekarang masih tersisa tiga semester lagi. Semoga dengan ke-chaos-an semester 5 ini saya dapat menghadapi semester-semester berikutnya dan seperti itu-nya teman-teman saya dengan lebih baik.

Saya harus berjuang sendiri.

Komentar

Postingan Populer