All The Way to Makeup and Skincare
Akhir-akhir ini nggak bisa dipungkiri kalau ada banyak (banget) produk skincare dan makeup baru. Tiap hari pasti ketemu iklannya di mana-mana, atau bahkan ada beberapa teman yang menawarkan produk-produk tersebut. Apa pun itu, hal tersebut menunjukkan kalau produk skincare dan makeup sudah menjadi kebutuhan pokok banyak orang, nggak peduli cewek atau cowok. Bahkan orang yang dulunya nggak sebegitu peduli dengan perawatan diri ini, jadi ikutan pakai.
Termasuk saya, dulunya.
Yah, jujur saja. Saya pribadi sama sekali nggak
menyangka kalau akan ada saatnya bagi saya buat ribet dengan skincare dan
makeup. Soalnya saya itu (dulunya) termasuk tipe cewek yang memegang prinsip
“yang penting cuci muka”.
Skincare pertama yang saya kenal tak lain dan tak
bukan adalah facewash. Produk satu ini sih, sudah terkenal di kalangan saya
waktu SD sekitar kelas 5. Itu gara-gara booming-nya si B*ore dan P*nds di iklan
TV. Melihat teman-teman banyak yang punya, akhirnya saya pun ikutan pengin
punya. Ujung-ujungnya sih, jarang saya pakai alias dipakai kalau lagi ingat
saja.
Hal tersebut berlanjut sampai SMP. Sekitar kelas 3
SMP, saya baru rajin cuci muka pakai facewash sehari sekali. Produknya masih
sekitaran B*ore dan P*nds itu, tapi saya sudah mulai mengerti varian mana yang
saya butuhkan: antara untuk kulit berjerawat atau kulit berminyak. Iya, saya
jadi rajin pakai facewash gara-gara saya rutin jerawatan tiap PMS. Di masa SMP
ini saya juga mulai kenal yang namanya oil paper, barang yang sering diminta
kalau ada yang ketahuan lagi pakai (lol).
![]() |
Seriusan, ini produk bikin saya nggak nggak jerawatan lagi. Must try! |
Ya namanya masih bocah, di mata saya so-called makeup
yang teman-teman saya pakai terlalu berlebihan dan… aneh. Saya rasa, tiap orang
pasti pernah mengalami masa di mana dirinya sendiri atau teman-temannya pakai
bedak dempul yang keputihan dan malah kelihatan abu-abu. Dan, ya, itulah yang
dipakai teman-teman saya. Makanya gara-gara itu, saya selalu skeptis duluan
dengan yang namanya makeup karena merasa takut kalau saya yang pakai pasti
bakalan terlihat semengerikan teman-teman saya juga. (Untuk teman-teman saya
yang baca ini: maaf).
Saya terus berpikiran demikian sampai masa kuliah
menyerang. Saya lihat kating-kating saya cantik dan saya tahu itu karena
makeup. Tapi saya sendiri nggak segera meyentuh makeup sampai saya di semester
2 (atau 3?). Pokoknya, itu gara-gara mata kuliah Pengembangan Kepribadian yang
dosennya minta supaya mahasiswanya dandan. Entah beliau bercanda atau nggak,
yang jelas saya iyakan saja apa kata beliau meski itu cuma pakai lipstick.
Dari situ, akhirnya saya mulai pakai makeup complexion
berupa BB cream yang warnanya off banget di wajah saya. Yah, waktu itu saya
belum ngerti yang namanya skin undertone (lololol). Mana habis pakai BB cream saya timpa lagi
pakai bedak, malah kelihatan cakey. Pokoknya complexion saya nggak banget deh.
![]() |
Akhir-akhir produk lokal makin berkembang. Jadi saya pun memutuskan untuk cobain ini. |
Di saat yang bersamaan, saya juga mulai pakai skincare yang lumayan lengkap: mulai dari toner, essence, sampai serum. Rezeki anak soleh; semua itu saya dapat hasil giveaway dari Garn*er. Terus nggak lama kemudian, dapat makeup complexion dari L*kme (yang syukurnya warananya pas di kulit saya).
Dan, dimulailah perjalanan saya dalam hal skincare dan
makeup. Awal-awalnya rajin pakai, tapi makin ke belakang saya makin ngeh kalau
yang penting itu pakai produk yang dibutuhkan saja. Less is more gitu lah.
Walau yah… kadang-kadang kalap beli juga kalau ada diskonan.
Apa pun itu, perjalanan saya belum selesai. Saya masih
cari cara gimana biar makeup saya nggak nempel di masker (maklum, nulis ini pas
lagi pandemi). Saya juga masih cari cara biar wajah saya semulus pantat bayi
(padahal nggak jerawatan rutin saja harusnya saya beryukur).
Komentar
Posting Komentar