Hidup Tanpa Ponsel Selama 3 Bulan
Sejak pertama kali punya ponsel touch screen, saya berpikir kalau saya nggak akan pernah bisa hidup tanpa yang namanya ponsel. Bagi saya, ponsel adalah hidup kedua saya, nyawa saya. Terutama saat ada teknologi bernama android dan internet. Beuh, kepentingan ponsel melebihi dompet. Mending dompet yang ketinggalan daripada ponsel yang ketinggalan. Nggak masalah walau ponsel saya nggak terhubung internet, yang penting saya tahu ponsel saya ada di genggaman saya.
Alasannya sederhana
saja: soalnya ponsel itu paket lengkap. Nggak ada uang? Tinggal pakai e-money
atau m-banking. Nggak ada kendaraan? Pesan ojek online. Gabut? Main sosmed.
Butuh informasi? Cari tahu di internet. Bahkan menulis dan menggambar pun lebih
sering saya lakukan di ponsel. Semasa kuliah pun, tugas-tugas dikoordinasi
lewat grup chat. Kurang apa lagi coba teknologi bernama ponsel ini?
Setidaknya, begitulah
pikiran saya sampai beberapa bulan lalu. Sebelum ponsel saya “hamil” untuk kedua
kalinya dan sudah nggak tertolong lagi.
Ponsel saya rusak.
Rusak serusak-rusaknya.
Keadaannya mengenaskan
sampai-sampai saya nggak tega untuk pinjam ponsel saudara untuk memfoto keadaan
ponsel saya. Pokoknya batreinya kembung, sehingga membuat bagian depan ponsel
maju dan merusak beberapa bagian ponsel sampai beberapa bautnya(?) lepas dan
hilang. Hebatnya, layarnya nggak retak, cuma melengkung cembung saja.
Mengenaskanlah.
Karena hal itu pula,
ditambah dengan kemerosotan perekonomian keluarga, saya jadi tidak punya
ponsel. Saya sudah nggak pegang ponsel selama… hampir 3 bulan ini (sejak
Oktober). 3 bulan yang rasanya hampir seabad.
Saya terbiasa memegang
ponsel waktu gabut dan itu bikin tangan saya gatal untuk sekadar memegang
ponsel dan merasakan bentuk dan teksturnya di tangan saya. Waktu cuaca sedang
panas, ponsel saya akan berada pada suhu ruang yang cenderung hangat. Waktu
cuaca dingin, terutama kalau semalam hujan, subuhnya ponsel saya akan terasa
dingin. Ponsel saya bodinya kuat (dia terbuat dari besi entah apa), jadi kalau
sedang berikir saya suka mengetukkan jari pada ponsel atau bahkan mengetukkan
ponsel saya ke dinding.
Dan tiba-tiba saja
saya harus kehilangan sensasi-sensasi di atas. Menurut kalian bagaimana
perasaan saya? :”
Belum lagi aplikasi
membaca saya ada di sana semua. Rasanya jadi pengin nangis beneran. Bisa sih,
baca novel dan komik lewat web PC, tapi sensasinya beda dan nggak bisa setiap
waktu. Mana kalau lagi baca komik nggak bisa screenshot lagi. Terus soal
tulis-menulis… HHHHH. Saya sekarang jadi memanfaatkan waktu sebaik-baiknya buat
nulis lewat PC. Untung saja beberapa tulisan sudah saya back-up dan tulis lewat
Google Docs. Dan karena itu pula, saya jadi terbilang jarang buka sosial media.
Saya sudah nggak aktif
Instagram lagi. Twitter masih lah ya, lumayan. Soal WhatsApp, jangan ditanya
dah—bisa dibilang saya menghilang dari peredaran so-called teman-teman saya.
YouTube… Hhhh, ini nih yang lumayan bikin nangis. Kok ya pas banget ponsel saya
rusak di musim lomba skating gini. Waktu nulis ini, saya sudah melewatkan Japan
National Figure Skating dan Russia National Figure Skating. Padahal rencananya
saya mau bikin live-tweet ala-ala kayak tahun kemarin.
Tapi ya mau gimana
lagi? Sepi dan rasanya ada yang hilang. Saya nggak tahu sampai kapan kayak
gini, pokoknya semoga saya segera punya ponsel baru lah.
Komentar
Posting Komentar