Alasan-Alasan Untuk Tinggal dan Pergi


Kover depan novel

Judul: All The Bright Places
Penulis: Jennifer Niven
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Terbit: Sep 2017
Halaman: 392
Rating: 4.2/5 (Goodreads)

"... Apa menurutmu hari yang sempurna itu ada?"
"Apa?"
"Hari yang sempurna. Dari awal sampai akhir. Tanpa ada peristiwa mengerikan
atau sedih atau biasa. Apa menurutmu itu mungkin?"
"Entahlah."
"Kau pernah mengalaminya?"
"Tidak."
"Aku juga tidak, tapi aku menantikannya."

Duh, saya bingung bagaimana cara memulainya.

Sudah beberapa hari ini saya selesai membaca ALL THE BRIGHT PLACES, tapi sampai sekarang saya belum terima kalau Theodore Finch meninggal. Jadi, saya pribadi akan mengatakan kalau novel ini cukup bagus, meski banyak ulasan di Goodreads bilang kalau novel ini tidak sebagus itu (karena, kayak novel dengan tema depressions and suicide lainnya, katanya depresi dan keinginan untuk bunuh para tokoh kurang “klik”. So many readers says, “Depresi tuh nggak kayak gitu” dll).

Mungkin, yang membuat saya mengatakan novel ini cukup bagus adalah ketidakterimaan saya atas meninggalnya (baca: bunuh dirinya) Finch (WHY FINCH?! WHHHYYY?!). Plot selebihnya, yah, saya tidak seterkesan itu. (Tapi tetap bagus, kok! Serius!)

All The Bright Places menceritakan tentang Violet, si cewek yang kehilangan kakaknya dan menyalahkan hal itu pada dirinya sendiri, dan Finch, cowok aneh yang terobsesi dengan kematian(nya sendiri). Kalau kalian membaca blurb di kover belakang novel, kalian akan tahu bagaimana alur ceritanya. Bisa dibilang, novel ini kayak novel bertemakan sama lainnya. Lengkap dengan bumbu romance, tindas-menindas, perasaan bersalah, pikiran yang seruwet hubungan kalian dengan si doi (oke, bercanda), serta permasalahan keluarga. Mengutip ulasan di Goodreads, “Ini adalah novel yang mempertemukan The Fault in Our Stars dan Eleanor and Park”. Jadi, bayangkan sendiri bagaimana krenyes-krenyesnya novel ini :’v//

Saya paling suka di semua bagian Finch mencoba untuk bunuh diri (maapkeun daku, Finch. Tapi, kamu harus tahu kalau aku tetap berharap kamu nggak meninggal). Kira-kira ada tiga kali percobaan bunuh diri yang dia selamat. Rasanya tuh kayak, “Lu mau ngapain, woy!” sambil menggertakkan gigi berharap ada seseorang yang tahu-tahu nongol dan ngeplak kepala Finch. Soalnya, pribadi keseharian Finch sama sekali nggak cocok dengan bunuh diri. Dan, tentunya, saya suka pas Violet mencari Finch ke sana-sini soalnya tuh cowok tahu-tahu menghilang. Terus, berakhir dengan Violet yang menemukan baju Finch di pinggir danau tempat cowok itu “mencari dasar danau yang belum ditemukan” a.k.a. menenggelamkan diri.

Hmmm, novel sebenarnya menceritakan tentang Violet. Tapi… maafkan karena saya nggak bisa menceritakan banyak tentang Violet. Dia tipikal cewek terkenal (anak pemandu sorak, sebelum kakaknya meninggal) yang tahu-tahu jadi pemurung, (berusaha) menarik diri dari pergaulannya yang dulu, dan menganggap kehadiran Finch sebagai sebuah anugerah dan keajaiban. (Bagi saya, sulit sekali untuk bisa mencintai seorang Finch terlepas dia adalah cowok lucu dan suka meracau tentang astronomi (yup, lagi-lagi as.tro.no.mi). Jadi, saya lumayan terkesan pada Violet yang bisa mencintai Finch.)

Afterall, novel ini worth it untuk dibaca—terlepas dari narasinya yang, menurut pengakuan orang lain (soalnya saya nggak berpikiran demikian) terlalu bertele-tele. Saya sendiri pengin punya versi cetaknya, berhubung saya bacanya hasil meminjam di iPusnas ^^



Komentar

Postingan Populer