En Mémoire, si Abu-Abu
Saya punya obsesi(?) tersendiri pada kucing meong. Kalau kata Sebastian dari komik Kuroshitsuji, kucing adalah ras berbulu
yang unyu dan telapak kakinya lembut banget. Sama kayak Sebastian, saya suka
(pakai banget) sama kucing. Saya nggak bisa menahan diri kalau sudah lihat
kucing :v// Obsesi saya terhadap kucing bertambah saat saya sekeluarga pindah
rumah, yang mana lingkungannya, entah mengapa, banyak kucing liarnya.
Sepulang dari jalan-jalan dengan saudara saya pun,
kalau kebetulan kami lihat kucing, kami bakal berhenti, lalu, dengan kurang
kerjaannya, kami akan mengelus-elus kucing tersebut sambil memuji-muji bulu
atau matanya; keindahan si kucing tersebut. Praktis, waktu kami terbuang selama lima menitan.
Saya suka kucing. Maka dari itu, saya akan sedih
kalau tahu ada kucing yang mati.
Sudah dua kali ini kucing liar yang sudah saya
anggap sebagai peliharaan sendiri (berhubung ayah saya nggak suka sama
binatang) meninggal. Yang terakhir terjadi beberapa waktu lalu, sesudah selama
dua hari dia nggak muncul ketika saya atau saudara saya panggil.
Warnanya abu-abu dan rupanya seperti
kucing-liar-kampungan lainnya. Dan, dia punya kembar siam (baca: saudara yang
selalu bersamanya) yang warnanya cokelat muda. Mereka selalu bersama-sama,
bahasa lebaynya: tak terpisahkan. Setiap saya panggil (meong! Ck, ck, ck!) dua-duanya pasti muncul. Kalau pun yang muncul cuma
satu, dengan bodohnya, saya pasti akan bertanya, “Saudaramu mana?” sambil
mengelus-elus yang muncul dan memanggil yang satu lagi.
![]() |
Satu dari dua foto bersama mereka |
Biasanya, yang paling sering kelihatan adalah si
abu-abu. Si cokelat muda, saudaranya, pemalu banget. Butuh waktu sekitar satu
minggu biar si cokelat muda ini mau dipegang dan terbiasa dengan saya. Sebelum
si cokelat muda ini jinak, biasanya saya curhat ke si abu-abu, “Saudaramu kok
nggak mau dielus kayak kamu, sih?” Yah, tapi begitu si cokelat muda ini jinak,
dia jadi sering mengitari badan saya saat saya cuma merhatiin saudaranya.
Terus, kalau saya beralih dari si abu-abu ke si cokelat muda, ganti si abu-abu
yang mengitari tubuh saya.
Si abu-abu ini agak agresif. Dia paling nggak suka
dipegang perutnya. Kalau dipegang, salah satu kakinya bakal menepis tangan
saya. Dan, bukannya berhenti, saya malah terus menggodanya (soalnya, dia lucu banget
kalau digoda gitu). Dia juga sayang sama saudaranya, si cokelat muda. Konon
kata ibu saya, kalau si cokelat muda batuk-batuk (ini saya nggak ngerti kenapa,
pokoknya si cokelat muda ini sering batuk-batuk) si abu-abu bakal memeluk dia. So sweet, kan? Saya saja nggak pernah
begitu ke saudara saya// yha/
Makanya, setelah hampir dua bulan kebersamaan kami(?),
saya sama sekali nggak menyangka kalau si abu-abu akan meninggalkan saya
secepat ini. Meski, jujur saja, saya sempat berpikir suatu saat nanti dia pergi
dari lingkungan rumah saya dan mencari betina lalu beranak-pinak entah di mana.
Sekarang si abu-abu sudah nggak ada. Padahal,
biasanya ada di bawah kursi panjang seberang rumah saya, tidur, dan memejamkan
matanya.
Hmmm, sekarang pun dia juga sedang tidur dan memajamkan
matanya. Selamanya.
Komentar
Posting Komentar